Apakah Model Harga Bitcoin Masih Menjadi Panduan yang Andal bagi Investor pada Tahun 2025?

Model Stock-to-Flow (S2F) Bitcoin (BTC) sedang menunjukkan salah satu prediksi paling bullish, memproyeksikan BTC mencapai $222.000. Namun, seorang analis Bitwise memperingatkan bahwa pasar Bitcoin yang semakin matang mungkin telah melampaui kerangka prediksi tersebut.

Seiring kehadiran Bitcoin dalam keuangan global yang semakin besar, keandalan model prediksi harga menjadi sangat penting. S2F, yang dulunya menjadi landasan valuasi jangka panjang, kini kembali dikaji ulang karena kekuatan pasar yang berubah menantang asumsi dasarnya.

Apakah Bitcoin Telah Melampaui Model Stock-to-Flow?

Sebagai konteks, model Stock-to-Flow mengukur nilai Bitcoin berdasarkan kelangkaan. Model ini membandingkan pasokan yang ada (stok) dengan pasokan baru tahunan (aliran). Semakin tinggi rasio tersebut, Bitcoin dianggap semakin langka dan bernilai tinggi.

PlanB menciptakan model ini pada tahun 2019. Model ini mengaitkan kenaikan harga Bitcoin dengan peristiwa halving, yang mengurangi penerbitan koin baru setiap empat tahun. Model Stock-to-Flow memperkirakan bahwa Bitcoin dapat naik hingga $222.000 pada tahun 2026.

Dalam jangka waktu yang lebih panjang, model ini memproyeksikan valuasi 10 tahun yang luar biasa sebesar $10,9 juta per BTC, mewakili tingkat pertumbuhan tahunan majemuk (CAGR) sekitar 58,3%.

Namun, André Dragosch, Kepala Riset Eropa di perusahaan investasi Bitwise, menyarankan agar investor berhati-hati saat menggunakan model S2F, karena mungkin tidak lagi sepenuhnya mencerminkan realitas pasar Bitcoin saat ini.

“Model S2F memang salah satu kerangka paling bullish – namun gunakan dengan hati-hati. Masalah statistik dan pengecualian faktor pendorong permintaan membatasi keandalannya,” tulis Dragosch.

Stock-to-Flow Model’s Bitcoin Price Prediction. Source: André Dragosch on X

Analis tersebut menyoroti kritik Kripfganz terhadap model ini. Pada tahun 2020, ekonom tersebut berpendapat bahwa model ini ‘misspecified’ karena halving Bitcoin, yang menggandakan rasio S2F setiap empat tahun, membuat variabelnya bergantung pada waktu, bukan acak.

“Di luar teori, Bitcoin secara konsisten berkinerja di bawah harga yang diimplikasikan S2F. Residual menunjukkan drift negatif dan tidak stasioner, mengindikasikan variabel yang terlewat dan cacat statistik,” tambah Dragosch.

Selain itu, analis tersebut menekankan bahwa lingkungan makro Bitcoin telah berkembang sejak analisis awal PlanB.

“Saat ini, permintaan institusional (melalui Bitcoin ETP dan kepemilikan treasury) melebihi pengurangan pasokan tahunan dari Halving terbaru lebih dari 7x,” ujarnya.

Melampaui Kelangkaan: BAERM dan Power Law Jadi Sorotan

Selain S2F, Dragosch membandingkan dua model valuasi Bitcoin lain yang banyak dirujuk, menunjukkan proyeksi yang lebih moderat namun tetap bullish.

Model Halving Supply Shock, juga dikenal sebagai ‘Bitcoin Autocorrelated Exchange Rate Model’ (BAERM), mengukur bagaimana setiap halving Bitcoin memengaruhi harga dari waktu ke waktu menggunakan data harga masa lalu. Model ini juga memperhitungkan menurunnya dampak supply shock.

Model BAERM saat ini memperkirakan ‘nilai wajar’ Bitcoin di $159.000, memproyeksikan $173.000 pada akhir 2025 dan $7,59 juta dalam sepuluh tahun. Secara historis, model ini menunjukkan kecocokan prediktif yang kuat, dengan sekitar 88% R² sejak halving kedua.

Meski memiliki keunggulan, menurut Dragosch, BAERM kini mungkin ‘agak ketinggalan zaman’ karena tidak sepenuhnya memperhitungkan pengaruh pembelian institusional atau tren adopsi yang berubah.

“Model ini juga tidak memperhitungkan percepatan kembali imbal hasil melalui pola adopsi tipe kurva-S. Namun, jika Anda masih percaya pada pentingnya Halving – model ini cocok untuk Anda,” ujar analis tersebut.

Terakhir, model Power Law mengaitkan harga Bitcoin dengan formula berbasis waktu. Meski memiliki kecocokan 99% R² dalam regresi log-log, model ini terkenal konservatif.

Prediksi harga Bitcoin 10 tahun dari model ini berada di $2,03 juta, jauh lebih rendah dari S2F atau BAERM, berdasarkan gagasan bahwa imbal hasil akan terus menurun seiring bertambahnya usia Bitcoin. Namun, perubahan struktur pasar yang sedang berlangsung berarti bahkan prediksi yang hati-hati pun mungkin perlu mencerminkan kemungkinan pertumbuhan baru yang didorong permintaan.

“Kurva adopsi teknologi cenderung mengikuti pola kurva-S permintaan dengan percepatan kembali permintaan selama transisi dari ‘early adopters’ ke ‘early majority.’ Hal ini sangat menantang hipotesis penurunan imbal hasil dari Power Law. Selain itu, struktur pasar pada dasarnya telah berubah sejak Januari 2024 dengan munculnya ETF dan pembeli institusional. Pola kinerja pasca-Halving di masa lalu mungkin tidak lagi berlaku,” ujar Dragosch.

Jadi, meskipun model klasik seperti Stock-to-Flow, BAERM, dan Power Law masih menawarkan perspektif berharga tentang arah jangka panjang Bitcoin, model-model ini semakin kurang mampu menangkap pasar yang kini didorong permintaan. Siklus pasar berikutnya mungkin akan mengungkap apakah kerangka ini akan berevolusi atau digantikan oleh paradigma baru.